Dilematis Kebijakan Harga Beras di tingkat Petani
B. Suhardi, Dosen UNS
Sutrisno, Peneliti Kan. Litbang Pati
Stabilnya ketersediaan bahan pangan atau banyak diklaim sebagai ketahanan pangan saat ini, ternyata masih banyak menyisakan berbagai persoalan mendasar. Kelangsungan ketersediaan, kesejahteraan petani, hingga menyempitnya lahan garapan masih menjadi masalah yang juga memunculkan kembali kerawanan bahan pangan.
Tahun 1984 barangkali merupakan tahun kejayaan produksi pangan Indonesia karena pada tahun tersebut negeri ini bisa swasembada beras. Namun, harga yang ditanggung oleh swasembada tersebut ternyata tidak sedikit. Subsidi yang demikian besar ke bidang pertanian memang tidak bisa terus menerus dilakukan.
Akibat yang terjadi, perlahan tapi pasti, produksi pertanian menurun ketika subsidi pelan-pelan dikurangi. Ketersediaan pangan yang semakin berkurang mengharuskan Indonesia kembali tergantung pada impor. Meskipun saat ini pemenuhan kebutuhan nasional dari produksi dalam negeri masih mencukupi, namun labilnya suplai akibat musim yang tidak menentu tetap menjadi indikator ketidak pastian.
Ketidak pastian akan ketersediaan bahan pangan produk dalam negeri, sering kali menimbulkan kekhawatiran. Kelangsungan ketersediaan hasil pertanian menjadi sangat penting karena menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari seluruh rakyar negeri ini. Ketersediaan beras, gula, jagung, kedelai, buah, sayur-sayuran, hingga produk perkebunan tidak hanya menyangkut persoalan ekonomi, tetapi berdimensi lebih luas.
Hal itu karena sektor pertanian pada kenyataannya masih menjadi gantungan hidup sebagian besar rumah tangga di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan. Jumlah rumah tangga pertanian meliputi hampir 24,9 juta dari total 53,1 juta rumah tangga pedesaan yang disensus Badan Pusat Statistik tahun 2004. Ini berarti, terguncangnya pengelolaan nasional sektor pertanian bisa berimbas pula terhadap ketersediaan lapangan kerja dan rawan pangan yang luas.
Sekitar 60 persen responden dalam jajak pendapat Kompas menyatakan bahwa ketersediaan bahan pangan dalam negeri masih dalam kondisi memadai dan hanya sekitar 36 persen yang menyatakan sebaliknya. Ketersediaan bahan pangan yang terdiri dari produk dalam negeri dan impor itu dipandang makin mudah didapat meskipun dengan harga barang yang bervariasi.
Persoalan Impor Beras
Persoalan yang juga dikhawatirkan masyarakat adalah kebijakan pemerintah dalam soal pangan. Kebijakan pemerintah yang membuka regulasi impor dengan cukup longgar, antara lain dengan bea masuk rendah, dikhawatirkan akan memukul sekaligus petani dan masyarakat konsumen.
Sifat ketergantungan pada produk impor pertanian dikhawatirkan ujung-ujungnya akan menyebabkan ketergantungan harga pada produsen luar negeri, yang dampaknya bisa semakin menjauhkan kemampuan masyarakat bawah memperoleh bahan pangan. Tidak heran, terhadap longgarnya kebijakan impor pangan dari luar negeri, ternyata tiga perempat responden menyatakan tidak setuju (Suhardi dan Sutrisno, 2005).
Meskipun kebutuhan nasional tercukupi, tampaknya nasib petani tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Keseriusan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang meningkatkan taraf hidup petani secara berarti masih banyak dipertanyakan. Dukungan kebijakan yang antara lain berupa pemberdayaan petani dinilai sebagian besar responden jajak pendapat semakin berkurang.
Sebanyak 57 persen responden jajak pendapat menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kemampuan pengelolahan petani. Pemberian penyuluhan, bantuan kredit lunak petani, maupun bentuk kemudahan lain sudah lama berkurang. Petani lebih banyak berupaya dengan kemampuan sendiri dan secara individual. Kondisi serupa ditengarai tidak hanya menimpa petani sawah, tetapi juga petani perkebunan, holtikultura, dan peternakan.
Berkurangnya lahan garapan untuk budidaya tanaman pertanian menjadi ancaman serius Data sensus pertanian BPS pada akhir tahun 2004 meunjukkan, perubahan luas lahan sawah menjadi lahan nonsawah (permukiman, industri, dan sebagainya) mencapai 5 persen lebih. Dari 12,4 juta hektar lahan sawah, yang dikonversi menjadi lahan nonsawah sebanyak 676.000 hektar. Meskipun secara absolut jumlah rumah tangga pertanian meningkat, mereka akhirnya menerima kenyataan menjadi petani gurem yang menguasai lahan pertanian di bawah 0,5 hektar. Di wilayah Jawa Timur sebagai sentra rumah tangga petani, misalnya petani gurem mencapai 3,4 juta rumah tangga atau sekitar 25 persen dari jumlah nasional.
Sektor Pertanian dan Para Pelakunya
Secara sektoral, sektor pertanian terdiri dari sub sektor pertanian tanaman pangan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor perikanan, dan sub sektor kehutanan. Pada awal rezim orde baru, kelima sub sektor tersebut bersatu dalam satu departemen, yaitu Departemen Pertanian. Kemudian sub sektor perkebunan dipisah menjadi departemen tersendiri. Begitu pula dengan sub sektor perhutanan yang menjadi Departemen Kehutanan dan subsektor perikanan menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan.
Sementara itu, pengolahan hasil pertanian dan manufaktur sarana dan alat perlengkapan produksi pertanian sejak semula termasuk dalam sektor industri dan tergabung dalam Departemen Perindustrian. Namun, secara sistem, sub sektor industri pertanian atau agro industri termasuk dalam cakupan agribisnis.
Dalam pengertian ini, agribisnis lebih merupakan suatu sistem, di mana agro industri, baik industri hilir (pengolahan hasil pertanian) maupun industri hulu (manufaktur sarana dan alat perlengkapan pertanian) merupakan salah satu sub sistem dari agribisnis, satu sistem pertanian dalam arti luas (Adiratma, 1995)
Dalam kegiatan ekonomi, lingkup agribisnis termasuk dalam ketiga bidang ekonomi, yaitu (1) keseluruhan pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, dan tanaman pangan tercakup dalam industri primer; (2) agro industri, baik industri hulu maupun hilir, termasuk dalam kelompok industri sekunder, (3) bidang jasa, pemasaran, perbankan, komunikasi, dan jasa penunjang lainnya, termasuk dalam industri tersier. Dengan demikian, agribisnis mengandung dua sifat, yaitu agribisnis sebagai suatu kegiatan bisnis dan sebagai suatu cara pandang terhadap pertanian dengan pendekatan komprehensif, yang memandang pertanian sebagai suatu sistem yang terkait dengan sektor lain dalam suatu arus komoditas.
Dalam menunjang pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem, terdapat faktor-faktor dari luar yang berpengaruh terhadap pengembangan agribisnis yang terdiri dari faktor agroklimatologi, sosial, ekonomi, teknologi, dan kebijakan pemerintah.
Persoalan Perberasan di Era Otonomi Daerah
Di tengah polemik mengenai kebijakan pangan nasional, khususnya yang berkenaan dengan persoalan beras, ada satu pertanyaan: dimana dan apa peran pemerintah daerah dalam rangka menjalankan otonominya?. Pertanyaan ini wajar dimunculkan karena secara teknis beras merupakan produk sektor pertanian yang merupakan salah satu bidang kewenangan pemerintah daerah. Dari sudut pandang ini maka pemerintah daerah secara proaktif harus berperan dalam menangani persoalan perberasan yang terjadi di daerahnya. Masalahnya, dalam aspek apa saja pemerintah daerah seharusnya dapat berperan? Pemilahan persoalan diperlukan karena pada kenyataannya persoalan beras tidak saja terbatas pada persoalan teknis produksi belaka. Di dalamnya menyangkut aspek yang lebih luas, karena komoditi beras bukan sekedar sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga merupakan komoditi sosial politis yang bisa menimbulkan aksi emosional. Akibatnya, meskipun kewenangan sektor pertanian telah didesentralisasikan ke daerah, peran pemerintah daerah dalam hal perberasan terasa masih kecil. Pemerintah pusat masih terus memainkan peran yang dominan dan menentukan.
Di era otonomi daerah sekarang, manajemen sistem kebijakan perberasan dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua. Pertama, manajemen sistem kebijakan perberasan yang berkaitan dengan penanganan pasca panen dan kebijakan makro lainnya yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Penetapan mengenai harga dasar gabah, tarif impor, penyediaan kredit, peran Bulog, Raskin, dan subsidi pupuk, merupakan contoh unsur-unsur kebijakan perberasan yang sangat penting, yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Dalam aspek-aspek kebijakan ini dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah nyaris tidak diberikan peran apa pun. Tidak saja dalam perumusan kebijakan, bahkan dalam polemik mengenai isu kebijakan perberasan nasional (pasar bebas versus proteksionisme), suara daerah nyaris tak terdengar. Tampaknya beras masih dan akan tetap menjadi komoditi yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Kedua, sistem kebijakan yang menyangkut aspek penyediaan sarana dan prasarana usahatani. Sesuai dengan kewenangan otonom yang dipunyainya, pelaksanaan aspek kebijakan ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Kondisi riil yang terjadi di lapangan umumnya menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum berhasil menjalankan perannya yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana usahatani. Jaringan irigasi, misalnya kondisinya bukan bertambah baik tetapi justru sebaliknya. Demikian pula kondisi jalan-jalan kolektor usahatani di pedesaan. Untuk menangani prasarana yang sangat penting bagi produksi beras tersebut sepertinya tidak ada lagi instansi pemerintah yang bertanggung jawab penuh mengelolanya. Untuk menggambarkan kondisi pembangunan yang terjadi sekarang, kelompok masyarakat di sebuah desa di Lombok Barat misalnya, menyatakan bahwa di era otonomi daerah sekarang, pembangunan justru menjadi lambat.
Aspek lain manajemen usahatani yang juga tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah daerah adalah menyangkut soal penyuluhan pertanian. Alokasi anggaran biaya untuk penyuluhan dan pendampingan tidak tersedia atau jumlahnya sangat sedikit, sehingga mempengaruhi kinerja pembangunan pertanian di lapangan. Hal ini bisa terjadi karena sekarang para petani tidak lagi mempunyai akses atau sulit mendapatkan pendamping untuk berkonsultasi, termasuk memperoleh informasi pasar dan teknologi.
Persoalan lain yang mengemuka seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah kembali maraknya praktek pungutan perdagangan antar daerah, termasuk komoditi pangan (beras dan jagung) yang menimbulkan persoalan inefisiensi. Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, ditambah dengan makin memburuknya kondisi prasarana usahatani, maka dalam jangka panjang hal-hal demikian, dari sisi produksi dan distribusi, dapat menimbulkan dampak negatif terhadap aspek ketahanan pangan nasional.
Kebijakan Tarif Impor Beras Indonesia
Di Indonesia, harga beras dan kebutuhan untuk melindungi industri beras dalam negeri telah menjadi isu yang kontroversial selama beberapa tahun belakangan ini. Di tengah berlangsungnya kontroversi ini, muncul dua pendapat yang berlawanan mengenai perlunya pengenaan tarif pada beras impor. Pendapat pertama mendukung kebijakan tarif dan harga beras yang tinggi karena harga yang lebih tinggi diasosiasikan dengan pendapatan yang lebih tinggi bagi petani beras. Pendapat kedua menganggap bahwa melindungi industri beras dalam negeri memiliki dampak negatif terhadap kelompok miskin yang merupakan net consumer atau konsumen netto dari beras.
Argumen-argumen yang mendukung kenaikan tarif beras berfokus pada nilai politis dari swasembada beras, isu-isu perdagangan global, serta peranan beras sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat miskin pedesaan. Argumen-argumen tersebut antara lain adalah: (1) Tarif akan membantu Indonesia dalam mencapai swasembada beras, walaupun telah berhasil mempertahankan swasembada beras dari tahun 1984 hingga 1996, di saat puncak krisis ekonomi pada 1998, impor beras Indonesia mencapai 21,7% dari total impor beras dunia. Karena keterbatasan dan ketidakstabilan pasar beras internasional (dari beras yang diproduksi dunia, hanya 4% yang diperdagangkan secara internasional), harga beras bisa berfluktuasi dengan cepat dan pembeli besar bisa menyebabkan harga beras naik secara tajam. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu kembali memfokuskan kebijakan pertaniannya pada swasembada beras. Tarif dianggap akan membantu pencapaian sasaran ini, karena harga yang tinggi akan menjadi insentif bagi peningkatan produktivitas beras domestik dalam jangka panjang. (2) Pasar domestik harus dijaga dari kompetisi yang tidak “fair” dan “dumping”. Pemerintah di seluruh dunia mensubsidi dan melindungi industri beras domestik mereka. Oleh karena itu, tarif beras di Indonesia perlu dinaikkan untuk melindungi produsen beras dalam negeri dari beras murah yang “dibuang” di pasar dunia. (3) Penghasilan petani akan meningkat, para pendukung kenaikan tarif menekankan pentingnya penghasilan dari produksi beras bagi ekonomi pedesaan. Kenaikan harga beras dalam negeri akan meningkatkan penghasilan petani pedesaan yang dianggap termasuk kelompok miskin. (4) Industri beras harus digunakan sebagai mesin pertumbuhan bagi wilayah pedesaan. Dari pendapat diatas, diyakini bahwa peningkatan penghasilan di sektor penghasil beras akan menyediakan insentif tambahan bagi para petani, menciptakan lapangan pekerjaan tambahan dan meningkatkan upah. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan produksi beras di seluruh Indoensia. Pendukung argumen ini percaya bahwa peningkatan produksi beras akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja tidak terdidik, karena sektor beras dianggap mampu menyerap tenaga kerja tidak terdidik dalam jumlah yang besar. Hal ini akan memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan upah buruh tani.
Sementara itu, ada sejumlah pendapat berbeda yang diajukan untuk menentang kenaikan tarif beras di Indonesia. Argumen-argumen yang didasarkan pada alasan ekonomi tersebut mencakup: (1) Kenaikan harga beras akan berdampak negatif terhadap kelompok miskin, harga beras yang tinggi telah menjadi beban yang berat bagi konsumen dan merupakan penyebab utama dari peningkatan kemiskinan pada tahun-tahun belakangan ini. Pendukung pendapat ini meyakini bahwa di antara kelompok miskin ada lebih banyak konsumen beras netto daripada produsen netto, sehingga kelompok miskin akan semakin menderita karena kenaikan harga beras. Selain itu, perlu diingat bahwa konsumsi beras tidak elastis terhadap harga beras. Sekalipun terjadi kenaikan harga beras, konsumsi beras per kapita antara 1990 dan 2000 relatif tetap stabil. Kelompok miskin akan berusaha mempertahankan konsumsi beras mereka, tetapi mengurangi konsumsi makanan lainnya seperti lauk pauk, dan sayuran. (2) Dalam jangka panjang industri beras cenderung turun dan kebijakan tarif akan mengganggu alokasi sumber daya. Harga yang kompetitif akan meningkatkan efisiensi baik dalam produksi maupun dalam alokasi sumber daya. Kebijakan tarif akan mengganggu alokasi sumber daya dengan menjauhkan sumber daya dari sektor-sektor yang menjadi keunggulan komparatif dari suatu negara. Menaikkan tarif akan secara artificial meningkatkan hasil dari beras dan memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi beras, sementara membiarkan harga beras ditentukan oleh pasar akan menciptakan insentif bagi petani untuk melakukan diversifikasi dengan menanam tanaman pangan yang lebih menguntungkan, seperti kedelai dan berbagai tanaman perkebunan lainnya. (3) Harga beras bukanlah faktor yang signifikan terhadap kemiskinan petani. Menurut beberapa pengamat, terbatasnya kepemilikan tanah pedesaan diyakini merupakan penyebab utama kemiskinan di sektor pertanian. Rata-rata luas tanah yang dimiliki petani sangat sempit sehingga bahkan teknologi pertanian yang terbaru pun tetap tidak bisa meningkatkan produksi agar petani bisa keluar dari kemiskinan. Sebagai ilustrasi, rata-rata luas pemilikan lahan pertanian di Jawa adalah ekitar 0,58 hektar pada tahun 1983, dan menurun menjadi sekitar 0,47 hektar pada tahun 1993. Oleh karena itu, suatu kebijakan harga beras dengan mengenakan tarif dianggap tidak relevan dalam konteks memerangi kemiskinan di sektor beras Indonesia. (4) Harga beras domestik sudah lebih tinggi dibandingkan harga beras di pasar internasional. Pada Januari 2002, beras kelas menengah Thailand misalnya, diperdagangkan di pasar dunia dengan harga antara Rp 1.737 dan Rp 1.804 per kg (f.o.b). Sesudah memperhitungkan biaya pengiriman, margin harga dan tarif impor sebesar Rp 430 per kg, beras Thailand ini dijual di Indoensia dengan harga antara Rp 2.612 dan Rp 2.686 per kg. Data nasional menunjukkan bahwa beras domestik dengan kualitas yang setara dijual rata-rata Rp 2.978 per kg, sementara di Jakarta beras ini dijual Rp 3.232 per kg. (5) Tarif yang lebih mahal akan mendorong penyelundupan dan korupsi, perbedaan antara harga beras domestik dan internasional serta pembatasan impor beras telah menjadi penyebab utama dari penyelundupan beras. Untuk mempertahankan tingkat keuntungan, sebagian pedagang cenderung menyelundupkan beras ke dalam negeri atau menyuap petugas ketimbang mentaati ketentuan tarif. Akibatnya, sekalipun kebijakan tarif masih berlaku, beras impor dengan harga murah akan tetap dapat ditemui di pasar dalam negeri.
Komoditi Penting
Beras merupakan komoditi yang sangat penting di Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Meskipun upaya diversifikasi pangan telah lama digalakkan tetapi hingga saat ini belum ada bahan pangan lain yang dapat menggantikan beras, sehingga kebutuhan beras di Indoensia akan selalu tinggi. Akibatnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan beras di Indonesia akan terus meningkat.
Karena merupakan kebutuhan pokok utama, beras merupakan komoditi yang relatif tidak terlalu sensitive terhadap perubahan harga. Meskipun terjadi perubahan yang cukup besar pada harga beras permintaan terhadap beras tidak akan berubah banyak karena setiap orang akan berusaha mempertahankan kuantitas beras yang dikonsumsi. Konsumsi beras juga relatif tidak sensitive terhadap pendapatan. Peningkatan pendapatan seseorang tidak akan meningkatkan kuantitas beras yang dikonsumsi. Dengan demikian, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung semakin kecil, dan sebaliknya.
Kecenderungan terakhir di Indonesia menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah bekerja dengan baik dalam menstabilkan harga beras di pasar domestik. Fenomena harga beras menunjukkan bahwa proses deregulasi tidaklah mudah dijalankan, baik secara ekonomi atau politik. Pelbagai keputusan politis (atau tidak didasarkan pada penelitian di lapangan) yang diambil pemerintah telah menyebabkan kebijakan dalam perberasan ini kehilangan rasionalitas. Liberalisasi sektor perdagangan yang dilakukan di Vietnam telah meningkatkan produksi negera tersebut sehingga menambah penawaran beras di pasar dunia. Pada saat yang sama beberapa negara konsumen (sekaligus produsen) utama seperti Thailand telah mencapai kejenuhan dalam konsumsi beras yang mengakibatkan konsumsi per kapita di sana pun mengalami penurunan, dan pada akhirnya mengurangi permintaan dunia.
Perpolitikan kebijakan beras makin terasa pula dari pernyataan para politisi dan birokrat yang terlibat dalam perberasan. Untuk menghindari impor beras, Bulog mengusulkan hambatan bukan tarif dan menolak tawaran beras dari pemerintah AS melalui PL480 (program bantuan pangan dari pemerintah AS). Tetapi dalam kenyataannya Bulog tetap melakukan impor dengan melakukan kontrak pengadaan beras dengan Vietnam, Thailand dan India. Jika ancaman kelangkaan beras benar adanya, tentunya bukan hambatan bukan tarif yang harus diperkuat, tetapi justru tarif yang berlaku sekarang yang harus diturunkan sebesar 30%. Jika harga beras di pasar dunia meningkat hingga US$230 per ton dan tarif dipertahankan sebesar 30% barulah harga beras domestik menyamai harga pasar dunia. Artinya, tanpa ribut-ribut dengan sistem yang sekarang dan tanpa ada intervensi dari Bulog (serta tidak membebankan APBN) pasokan beras dalam negeri akan terjamin melalui importir umum. Yang menarik pula keterlambatan panen yang terjadi dewasa ini tidak direspon dengan lonjakan harga seperti yang terjadi pada saat rezim Soeharto. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah bekerja dengan baik dalam menstabilkan harga beras di pasar domestik.
Dari sisi perspektif ekonomipun, terdapat dua pendapat yang berbeda dalam memandang kebijakan harga beras. Kelompok pertama, kelompok yang ingin mempertahankan kebijakan harga beras dengan premium tertentu di atas harga internasional. Kelompok ini beranggapan bahwa harga beras dunia dibentuk oleh pelbagai distorsi, baik disisi permintaan maupun penawaran. Di sisi permintaan, tingginya tarif menyebabkan beras kalah bersaing dengan jenis sereal yang lain. Di sisi penawaran, subsisidi yang diberikan negera maju telah menyebabkan harga beras di pasar dunia jatuh. Pasar beras dunia memang telah berubah. Pada tahun 1980-an hanya 16 – 18 juta ton saja yang diperdagangkan tetapi sekarang lebih dari 25 juta ton beras diperdagangkan di pasar internasional. Walaupun demikian volume perdagangan beras masih relatif sedikit dan tersegmentasi. Misalnya beras long grain dari AS atau Basmati dari Pakistan umumnya ditujukan untuk pasar Timur Tengah yang harganya lebih mahal. Sementara beras untuk pasar Indonesia umumnya berasal dari Indochina, termasuk Thailand. Tidak mengherankan jika kemudian keputusan Indonesia untuk mengimpor beras akan langsung mempengaruhi harga dunia. Pada saat Bulog memegang monopoli impor, setiap 1 ton impor Indoensia akan menaikkan harga beras di pasar dunia hingga US$ 50 per ton. Tetapi sejak monopoli impor beras dihapuskan bersamaan dengan ekspansi pasar beras internasional (dari 16 juta ton per tahun menjadi 25 juta ton per tahun), pengaruh keputusan impor dari Indonesia menurun lebih dari separuhnya, yaitu harga dunia naik sebesar US$ 10 – 20 per ton untuk setiap ton impor beras Indonesia.
Lebih jauh lagi kelompok pertama ini menganggap beras adalah komoditi publik yang mengandung eksternal yang positif, terutama dari sisi produksi. Dampak multiplier ke depan (forward linkages) dari beras baik dalam penciptaan nilai tambah maupun tenaga kerja, walaupun kecenderungannya menurun, sudah sesuai dengan proses perubahan struktural. Padi beserta industri penggilingan padi mempunyai koefisien multiplier tertinggi di antara semua klasifikasi jenis kegiatan ekonomi berdasarkan klasifikasi Tabel Input Output. Karena peranannya yang dominan, kelompok ini beranggapan bahwa beras adalah ‘wage good’, artinya sokongan harga dasar gabah akan ikut meningkatkan kegiatan ekonomi pedesaan, termasuk upah buruh tani.
Argumen ini dibantah oleh kelompok kedua. Benar bahwa beras berperan dalam proses penurunan kemiskinan di daerah pedesaan, tetapi kebijakan ini hanya benar pada tahun 1970an hingga awal 1980an. Dewasa ini argumen ini tampaknya kurang valid. Menurut kelompok ini penurunan harga beras mengikuti harga internasional akan menguntungkan orang miskin. Argumen kelompok ini didukung oleh fakta bahwa: (1) kenaikan harga beras sebesar 10% akan menyebabkan lebih 2 juta orang miskin baru tercipta dengan kira-kira 1,1 juta diantaranya di daerah pedesaan, (2) kenaikan harga beras juga memberikan dampak distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan karena menyebabkan transfer pendapatan dari konsumen miskin di kota (baik di Jawa maupun di luar Jawa) kepada (petani) pemilik tanah di atas satu ha di pedesaan Jawa. Lebih jauh lagi, anekdot menunjukkan bahwa sebagian kepemilikan tanah pertanian sudah berpindah tangan ke penduduk kota sehingga kenaikan harga ini memberikan transfer dari konsumen miskin kepada pemilik tanah di kota, (3) berkaitan dengan masalah struktural yang dialami oleh buruh tani dan petani gurem yang mendominasi kelompok miskin di desa, harga beras yang terdistorsi (kenaikan harga yang berlebihan) akan menyebabkan kesempatan untuk menciptakan kegiatan ekonomi lain akan terganggu, (4) dalam masyarakat demokratis, keputusan untuk memberikan subsidi akan ditentukan oleh jumlah suara yang dimiliki oleh kelompok tertentu. Persentase keluarga yang menikmati keuntungan dari kenaikan (distorsi) harga beras makin kecil, sementara konsumen beras pun makin banyak.
Kedua kelompok di atas mempunyai argumen yang kelihatan logis, tetapi tetap saja belum lengkap. Misalnya, kelompok pertama beranggapan bahwa untuk melindungi orang miskin pemerintah dapat memberlakukan kebijakan targeting sehingga kepentingan orang miskin dan petani dapat dipertahankan. Meskipun demikian masih terdapat dua hal vital dalam pengambilan keputusan yang belum diperhitungkan oleh kedua kelompok di atas.
Pertama, dinamika dalam pasar tenaga kerja. Sejauh mana korelasi harga beras dan upah di daerah pedesaan?. Jika harga beras dan upah di pedesaan berkorelasi positif dan korelasi tersebut cukup kuat, argumen kelompok pertama dapat dibenarkan. Tetapi hal ini akan menimbulkan masalah baru, yaitu hilangnya kesempatan penciptaan peluang ekonomi di sektor bukan pangan karena kenaikan upah akibat distorsi harga beras. Usaha penciptaan lapangan kerja di luar kegiatan pangan (non farm activities) telah diyakini sebagai usaha untuk mempercepat proses penurunan tingkat kemiskinan. Jika diamati alokasi waktu petani (buruh tani) rata-rata hanya 10 hari per bulan, dan sisanya dapat digolongkan sebagai waktu luang. Tantangannya adalah bagaimana mengekonomisasikan waktu luang tersebut sehingga menghasilkan tambahan pendapatan bagi mereka. Sebagian dari mereka kemudian bekerja sebagai buruh bangunan, tukang becak dan sebagainya di daerah perkotaan, sedangkan sebagian lainnya bekerja di kegiatan ekonomi lainnya di desa.
Kedua, dalam kaitannya dengan Operasi Pasar Khusus (OPK) dan harga beras di pasar eceran, kelompok pro proteksi bukan tidak menyadari dampak proteksi terhadap orang miskin. Mereka menyarankan agar kelompok miskin diberikan subsidi harga khusus seperti yang dilakukan pemerintah dengan OPKnya. Pembelian beras untuk OPK akan mendorong permintaan beras dan sekaligus pendapatan bagi Bulog. Tetapi muncul argumen yang menyatakan bahwa OPKlah yang telah menyebabkan harga domestik tertekan sehingga argumen dari kelompok anti liberalisasi beras menjadi sia-sia. Argumen yang terakhir ini sebetulnya masih bersifat anecdotal dan perlu dibuktikan lebih dahulu.
Catatan lain yang perlu diangkat adalah: pertama, kenyataan bahwa sensitivitas harga terhadap produksi makin lemah. Ini ditandai dengan makin menurunnya elastisitas harga terhadap jumlah produksi gabah; kedua, perbandingan antar negara menunjukkan bahwa produktivitas per hektar gabah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, jauh lebih tinggi dari produktivitas negara-negara pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam. Ketidakmampuan Indonesia bersaing dengan negara-negara tersebut disebabkan oleh inefisiensi dalam proses produksi gabah menjadi beras. Banyak faktor yang menyebabkan inefisiensi tersebut, antara lain masalah infrastruktur, kondisi pabrik penggilingan padi yang sudah tertinggal teknologinya, kondisi keuangan petani, lahan marginal yang terpaksa menjual gabah sebelum kering untuk mengatasi masalah cashflows dan sebagainya, ketiga, keterbatasan lahan terutama akibat kompetisi penggunaan lahan antara komoditi pertanian satu dengan komoditi pertanian yang lain (di Jawa antara tebu dan padi, di luar Jawa antara padi dan tanaman keras), dan antara kebutuhan lahan untuk pertanian dengan kebutuhan untuk non pertanian, termasuk untuk perumahan dan infrastruktur.
Jadi dalam kasus beras, kita sebaiknya mengkonsentrasikan usaha dan sumber daya kita untuk mengurangi inefisiensi dalam ‘chain production’ gabah dan beras. Jika kita mampu menurunkan tingkat kehilangan 2 – 3 % saja, maka kebutuhan beras impor dapat dipenuhi di dalam negeri dan dilemma beras bisa dikurangi. Kondisi ini masih memenuhi syarat perlu tetapi belum memenuhi syarat cukup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa atau untuk mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu kondisi ini perlu dilengkapi pula dengan upaya untuk mendorong kegiatan non farm karena masa depan petani kita memang bukan di beras.
Harga Dasar Gabah
Barangkali tidak semua menyadari bahwa sejak dua tahun terakhir konstruksi kebijakan harga dasar gabah telah diubah secara halus namun mendasar. Pertama, istilah harga dasar gabah (HDG) diubah menjadi harga dasar pembelian gabah pemerintah (HDPG). Sungguh halus dan cerdik karena perubahan ini sukar disadari oleh orang awam. Namun sesungguhnya perubahan HDG menjadi HDPG sangatlah mendasar. Dengan kebijakan HDPG, pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban dan tanggung jawab formal atau juridis untuk menjamin harga dasar gabah pada tingkat harga tertentu, bukan menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani sebagaimana lazimnya konsep kebijakan HDG.
Kedua, HDPG berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat petani seperti lazimnya pada kebijakan HDG. Dengan kebijakan HDPG pemerintah tidak wajib membeli gabah dari petani. Bulog yang menjadi lembaga pemerintah pelaksana pembeli gabah hanya pasif menunggu di gudangnya, tidak perlu harus repot-repot membeli gabah langsung dari petani. Dengan demikian HDPG yang ditetapkan Rp.1.765 per kg GKG bukanlah harga dasar gabah yang diterima petani, melainkan harga dasar gabah yang diterima pedagang rekanan Bulog.
Secara formal-juridis, kebijakan HDG di tingkat petani sesungguhnya sudah tiada. Argumen inilah yang digunakan oleh sebagian pihak pada awal tahun 2002 lalu dalam mensosialisasikan bahwa Bulog tidak lagi bertanggung jawab untuk mempertahankan HDG. Bulog hanya membeli gabah untuk memenuhi kebutuhannya pada harga sesuai HDPG. Bahwa harga gabah anjlok di bawah HDPG adalah masalah lain yang diluar tanggung jawab formal Bulog. Secara formal juridis argumen ini benar, namun secara moral dan misi keberadaan lembaga argumen tersebut tidak benar.
Pada saat ini harga GKP (Gabah Kering Panen): Rp 1.330/kg ditingkat penggilingan oleh mitra kerja pengadaan kepada petani, sedangkan harga GKG (Gabah Kering Giling): Rp 1.765,-/kg pembelian gabah di depan pintu gudang penyimpanan Perum Bulog. Artinya petani belum banyak menikmati kenaikan harga gabah oleh pemerintah. Dilema ini selalu muncul dan tak pernah dapat teratasi, sehingga ada kesan persoaalan perberasan saat ini tidak terlepas dari adanya disharmoni dan tidak terkoordinasinya dengan baik lembaga yang selalu bersentuhan dalam masalah beras terutama antara departemen Perdagangan, Bulog dan Depertemen Pertanian (Suara Merdeka, 8 Pebruari 2006). Kebijakan beras saaat ini terkesan terlalu banyak melibatkan nahkoda, dan ujung-ujungnya hanya menciptakan instabilitas harga beras.
Ada gagasan yang patut dipertimbangkan bahwa sebaiknya pemerintah meroposisi lembaga yang satu ini yaitu Bulog ke dalam sistem atau struktur Depertemen Pertanian menjadi satu Direktorat Jendral tersendiri. Hal ini akan dapat mempermudah dalam satu komando menteri, sehingga memudahkan pemrintah untuk mengeluarkan kebijaksanaan yang lebih terakomodatif dan terkoordinatif. Reposisi ini dalam prakteknya akan menyebabkan kegiatan produksi, distribusi sampai pengamanan stok beras berada dalam satu departemen, sehingga kebijakan import beras misalnya, cukup ditentukan oleh menteri yang bersangkutan. Dengan reposisi Bulog ini, diharapkan tidak terjadi lagi polemik harga dasar beras maupun impor beras yang selalu muncul dan ujung-ujungnya hanya menghabiskan energi bangsa.
Daftar Pustaka
Adiratma, E.Roekasah, Stop Tanam Padi, Penebar Swadaya, Jakarta, 2004
Bahri, Sjaiful, Masa Depan Petani Indonesia Bukan di Beras, dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta, 2001
Basuki, Cuk Eko Haris, Riskan, Ketahanan Pangan Hanya Andalkan Beras, Suara Pembaruan, Jakarta, 17 Oktober 2003
Ikhsan, Mohamad, Kemiskinan dan Harga Beras, dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta, 2001
Ikhsan, Mohamad, Dilema Kebijakan Harga Beras, SMERU No.05: Jan-Mar 2003
Mawardi, Sulton, Persoalan Perberasan di Era Otonomi Daerah, SMERU No.05: Jan-Mar 2003
Priyambada, Agus D, Kebijakan Tarif Impor Beras Indonesia: Berbagai Argumen Pendukung dan Penentang Kenaikan Tarif, SMERU No.05: Jan-Mar 2003.
Suhardi, B dan Sutrisno. 2005. Penelitian Tingkat Harga Gabah dan Beras serta Factor-faktor yang Mempengaruhinya di Kabupaten Pati. Kan. Litbang. Pati, Jateng.
Wicaksono, W. 2006. Balada Beras dan Reposisi Bulog. Suara Merdeka. Semarang. Tanggal 8 Pebruari 2006.