Pengen Ngerti Aku

Foto saya
Lamongan, Jawa Timur, Indonesia
Saya adalah seorang karyawan yang sedang mencari sesuap nasi.

Jumat, 29 Januari 2010

BENTUK PEMERINTAHAN

BENTUK PEMERINTAHAN

Bentuk pemerintahan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada rangkaian institusi politik yang digunakan untuk mengorganisasikan suatu negara untuk menegakkan kekuasaannya atas suatu komunitas politik [1]. Definisi ini tetap berlaku bahkan untuk pemerintahan yang tidak sah atau tidak berhasil menegakkan kekuasaannya. Tak tergantung dari kualitasnya, pemerintahan yang gagalpun tetap merupakan suatu bentuk pemerintahan. Beberapa bentuk pemerintahan yang pernah ada antara lain sebagai berikut:
1. Aristokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno aristo yang berarti “terbaik” dan kratia yang berarti “untuk memimpin”. Aristokrasi dapat diterjemahkan menjadi sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh individu yang terbaik.
Sebagai salah satu istilah bentuk pemerintahan, aristokrasi dapat dibandingkan dengan:
otokrasi – “pemerintahan oleh seorang individu”.
meritokrasi – “pemerintahan oleh individu yang paling pantas untuk memimpin”.
plutokrasi – “pemerintahan oleh orang-orang kaya”.
oligarki – “pemerintahan oleh segelintir individu”.
monarki – “pemerintahan oleh seorang individu”.
demokrasi – “pemerintahan oleh rakyat”.
2. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
3. Demokrasi totaliter adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh sejarahwan Israel, J.L. Talmon untuk merujuk kepada suatu sistem pemerintahan di mana wakil rakyat yang terpilih secara sah mempertahankan kesatuan negara kebangsaan yang warga negaranya, meskipun memiliki hak untuk memilih, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki partisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Ungkapan ini sebelumnya telah digunakan oleh Bertrand de Jouvenel dan E.H. Carr.
4. Diktatur adalah suatu bentuk pemerintahan otokratis yang dipimpin oleh seorang diktator. Kata ini mempunyai dua kemungkinan arti:
Diktator Romawi yaitu suatu jabatan politis dari Republik Romawi. Para diktator Romawi diberikan kekuasaan mutlak pada saat-saat darurat. Namun kekuasaan mereka tidak sewenang-wenang ataupun tidak dipertanggungjawabkan, karena mereka takluk kepada hukum dan membutuhkan pembenaran di kemudian hari. Setelah awal abad ke-2 SM, tidak ada lagi bentuk diktatur seperti itu, dan para diktator di kemudian hari, seperti misalnya Sulla dan Kaisar Romawi menggunakan kekuasaannya dalam cara yang jauh lebih besifat pribadi dan sewenang-wenang.
Dalam penggunaan masa kini, diktatur merujuk kepada suatu bentuk pemerintah absolut yang otokratis oleh suatu kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh hukum, konstitusi, atau faktor-faktor sosial dan politis lainnya di dalam negara.
5. Emirat (bahasa Arab: imarah, jamak imarat) adalah sebuah wilayah yang diperintah seorang emir, meski dalam bahasa Arab istilah tersebut dapat merujuk secara umum kepada provinsi apapun dari sebuah negara yang diperintah anggota kelompok pemerintah. Contoh penggunaan dalam arti yang terakhir disebut adalah Uni Emirat Arab, yang merupakan sebuah negara yang terdiri dari tujuh emirat federal yang masing-masing diperintah seorang emir.
6. Federal adalah kata sifat (adjektif) dari kata Federasi. Biasanya kata ini merujuk pada pemerintahan pusat atau pemerintahan pada tingkat nasional. Federasi dari bahasa Belanda, federatie, berasal dari bahasa Latin; foeduratio yang artinya “perjanjian”. federasi pertama dari arti ini adalah “perjanjian” daripada Kerajaan Romawi dengan suku bangsa Jerman yang lalu menetap di provinsi Belgia, kira-kira pada abad ke 4 Masehi. Kala itu, mereka berjanji untuk tidak memerangi sesama, tetapi untuk bekerja sama saja.
Dalam pengertian modern, sebuah federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk negara kesatuan. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas. Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja. Kelebihan sebuah negara kesatuan, ialah adanya keseragaman antar semua provinsi.
Federasi mungkine multi-etnik, atau melingkup wilayah yang luas dari sebuah wilayah, meskipun keduanya bukan suatu keharusan. Federasi biasanya ditemukan dalam sebuah persetujuan awal antara beberapa negara bagian “sovereign”. Federasi modern termasuk Australia, Brazil, Kanada, India, Russia dan Amerika Serikat. Bentuk pemerintahan atau struktur konstitusional ditemukan dalam federasi dikenal sebagai federalisme.
7. Meritokrasi Berasal dari kata merit atau manfaat, meritokrasi menunjuk suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidak adilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin.
Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap di pakai menentang birokrasi yang sarat KKN terutama pada aspek nepotisme.
8. Monarkisme adalah sebuah dukungan terhadap pendirian, pemeliharaan, atau pengembalian sistem kerajaan sebagai sebuah bentuk pemerintahan dalam sebuah negara.
9. Negara Kota adalah negara yang berbentuk kota yang memiliki wilayah, memiliki rakyat,dan pemerintahan berdaulat penuh. Negara kota biasanya memiliki wilayah yang kecil yang meiliki luas sebesar kota pada umumnya.
Negara-negara kota dewasa ini adalah Singapura, Monako dan Vatikan.
10. Oligarki (Bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Kata ini berasal dari kata bahasa Yunani untuk “sedikit” (ὀλίγον óligon) dan “memerintah” (ἄρχω arkho).
11. Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara literal berarti “berkuasa sendiri” atau “penguasa tunggal”. Otokrasi biasanya dibandingkan dengan oligarki (kekuasaan oleh minoritas, oleh kelompok kecil) dan demokrasi (kekuasaan oleh mayoritas, oleh rakyat).
12. Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yamg mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki. Mengambil kata dari bahasa Yunani, Ploutos yang berarti kekayaan dan Kratos yang berarti kekuasaan. riwayat keterlibatan kaum hartawan dalam politik kekuasaan memang berawal di kota Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan Genova, Italia.
13. Republik Dalam pengertian dasar, sebuah republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau “urusan awam”, yanng artinya kerajaan dimilik serta dikawal oleh rakyat. Namun republik berbeda dengan konsep demokrasi. Terdapat kasus dimana negara republik diperintah secara totaliter. Misalnya, Afrika Selatan yang telah menjadi republik sejak 1961, tetapi disebabkan dasar apartheid sekitar 80% penduduk kulit hitamnya dilarang untuk mengikuti pemilu. Tentu saja terdapat juga negara republik yang melakukan perwakilan secara demokrasi.
Konsep republik telah digunakan sejak berabad lamanya dengan republik yang paling terkenal yaitu Republik Roma, yang bertahan dari 509 SM hingga 44 SM. Di dalam Republik tersebut, prinsip-prinsip seperti anualiti (memegang pemerintah selama satu tahun saja) dan “collegiality” (dua orang memegang jabatan ketua negara) telah dipraktekkan.
Dalam zaman modern ini, ketua negara suatu republik biasanya seorang saja, yaitu Presiden, tetapi ada juga beberapa pengecualian misalnya di Swiss, terdapat majelis tujuh pemimpin yang merangkap sebagai ketua negara, dipanggil Bundesrat, dan di San Marino, jabatan ketua negara dipegang oleh dua orang.
Republikanisme adalah pandangan bahwa sebuah republik merupakan bentuk pemerintahan terbaik. Republikanisme juga dapat mengarah pada ideologi dari banyak partai politik yang menamakan diri mereka Partai Republikan. Beberapa dari antaranya adalah, atau mempunyai akarnya dari anti-monarkisme. Untuk kebanyakan partai republikan hanyalah sebuah nama dan partai-partai ini, serta pihak yang berhubungan dengan mereka, mempunyai sedikit keserupaan selain dari nama mereka.
14. Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.
Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem presidensiil, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.
15. Sistem presidensiil (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu:
Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensiil, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, posisi presiden bisa dijatuhkan. Ciri-ciri pemerintahan presidensiil yaitu:
Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
Kekuasan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.
Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasan eksekutif presiden bukan kepada kekuasaan legislatif.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
16. Semipresidensiil adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kedua sistem pemerintahan: presidensiil dan parlementer. Terkadang, sistem ini juga disebut dengan Dualisme Eksekutif. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga memiliki kekuasaan yang kuat. Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana menteri. Sistem ini digunakan oleh Republik Kelima Perancis.
17. Totalitarian Sebagai lawan dari sistem demokrasi, sistem totalitarian adalah bentuk pemerintahan dari suatu negara yang bukan hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi dan politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dari prilaku, kepercayaan dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya, tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh masyarakat.
Di dalam sistem totalitarian, bukan negara yang melayani masyarakat, tetapi sebaliknya sebanyak mungkin anggota masyarakat, khususnya mereka yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintah, diwajibkan melaksanakan berbagai tugas untuk membantu penguasa membangun negara ke arah bentuk ideal. Misalnya diwajibkan menjadi anggota satu-satunya partai politik atau satu-satunya serikat buruh bentukan pemerintah. Apabila nilai-nilai komunis (atau nilai-nilai suatu agama) dianggap oleh penguasa sebagai bentuk ideal, maka nilai tersebut akan didoktrinkan ke dalam pola pikir masyarakat.
Berbagai bentuk sistem totalitarian dalam suatu pemerintahan berpijak pada ideologi-ideologi yang berbeda. Walaupun demikian, semuanya memiliki ciri-ciri bersama. Dua ciri utama totalitarian yang terpenting adalah adanya ideologi yang disebarkan dan dimasukkan ke dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat dan keberadaan partai politik tunggal agar seluruh komponen masyarakat bisa dimobilisir melalui partai tunggal tersebut.
Contoh kasus : Pimpinan partai tunggal ini mengontrol sistem negara, termasuk lembaga-lembaga pengadilan dan parlemen (jika ada), lembaga-lembaga pendidikan, mengontrol komunikasi melalui radio, televisi, dan berbagai alat komunikasi (di masa modern termasuk internet, seperti yang masih dilakukan pemerintah Republik Rakyat Cina hingga sekarang ini), bahkan bila perlu dengan mengerahkan polisi rahasia.
Contoh sistem pemerintahan yang paling sering disebut sebagai pemerintah totalitarian adalah bekas pemerintah Uni Soviet di bawah Stalin, Jerman di masa Nazi and Republik Rakyat Cina di masa Mao. Regim komunis di Uni Soviet dan Cina berusaha mencapai ‘nilai-nilai manusiawi yang universal’ dengan menciptakan berbagai kelas masyarakat. Negara Sosial Nasionalis Jerman berusaha mewujudkan ‘keunggulan dan kelebihan positif’ bangsa Arya.
Tidak jelas, apakah pemerintah Indonesia di masa orde baru yang hanya mengijinkan satu partai politik (Golkar), mewajibkan beberapa mata pelajaran tentang filsafat Pancasila dan sampai tahun-tahun 70-80-an melarang radio dan televisi-televisi swasta (sebelum salah seorang anak Soeharto ikut membidani kelahiran stasiun TV swasta pertama), bisa dikategorikan sebagai konsep totalitarian.
Dengan kemajuan teknologi (misalnya teknologi internet), perwujudan suatu pemerintah totalitarian modern mungkin berbeda dan lebih tersamar. Misalnya totalitarian di masa sekarang tidak lagi tergantung pada keberadaan secara fisik aparat rahasia atau aparat militer yang langsung melakukan operasi pengontrolan dan pemaksaan nilai-nilai, tetapi lebih tergantung pada teknologi.
18. Khalifah adalah gelar untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata “Khalifah” (خليفة Khalīfah) dapat diterjemahkan sebagai “pengganti” atau “perwakilan”. Pada awal keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai “Khalifat Allah”, yang berarti perwakilan Allah (Tuhan), tetapi pada perkembangannya, sebutan ini diganti menjadi “Khalifat rasul Allah”, yang berarti “pengganti Nabi Allah”, yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan “Khalifat Allah”. Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut “Khalīfah” sebagai pemimpin umat islam tersebut.
Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn (أمير المؤمنين) atau “pemimpin orang yang beriman”, atau “pemimpin umat muslim”, yang terkadang disingkat menjadi “emir” atau “amir”.
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Usmaniyah, dan beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir. Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.

Sistem Pemerintahan Indonesia

Sistem Pemerintahan Indonesia

Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional.
Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
# Pengelompokkan system pemerintahan:
A.System pemerintahan Presidensial
merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial:
1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
4. eksekutif dipilih melalui pemilu.
B.System pemerintahan Parlementer
merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia.
Ciri-ciri dan syarat system pemerintahan Parlementer:
1. Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan.
2. Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan antara presiden dan kabinet.
3. Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.
C.System pemerintahan Campuran
Dalam system pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan system pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Contoh Negara: Perancis.
# Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
1.Tahun 1945 – 1949 (Orde Lama)
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
a.Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
b.Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.

2.Tahun 1949 – 1950
Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
3.Tahun 1950 – 1959
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
a.presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b.Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c.Presiden berhak membubarkan DPR.
d.Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
4.Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
5.Tahun 1966 – 1998 (Orde Baru)
Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei ’98.


6.Tahun 1998 – Sekarang (Reformasi)
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
# Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
DPR sebagai pembuat UU.
Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
BPK pengaudit keuangan.
# Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002)
MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
# Perbandingan SisPem Indonesia dengan SisPem Negara Lain
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensia. Tapi dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
# kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR.
Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis kabinet.
Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR.
# Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.
Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.
Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.
Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.
# Perbedaan Sistem Pemerintahan Indonesia dan Sistem Pemerintahan Malaysia
1.Badan Eksekutif
a. Badan Eksekutif Malaysia terletak pada Perdana Menteri sebagai penggerak pemerintahan negara.
b. Badan Eksekutif Indonesia terletak pada Presiden yang mempunyai 2 kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
2.Badan Legislatif
a. Di Malaysia ada 2 Dewan Utama dalam badan perundangan yaitu Dewan Negara dan Dewan Rakyat yang perannyan membuat undang-undang.
b. Di Indonesia berada di tangan DPR yang perannya membuat undang-undang dengan persetujuan Presiden

Biografi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Biografi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

[Profile in English]
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI ke enam dan Presiden pertama yang dipilih langsung oleh Rakyat Indonesia. Bersama Drs. M. Jusuf Kalla sebagai wakil presidennya, beliau terpilih dalam pemilihan presiden di 2004 dengan mengusung agenda "Indonesia yang lebih Adil, Damai, Sejahtera dan Demokratis", mengungguli Presiden Megawati Soekarnoputri dengan 60% suara pemilih. Pada 20 Oktober 2004 Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik beliau menjadi Presiden.
Presiden SBY, seperti banyak rakyat memanggilnya, lahir pada 9 September 1949 di Pacitan, Jawa Timur. Seorang ilmuwan teruji, beliau meraih gelar Master in Management dari Webster University, Amerika Serikat tahun 1991. Lanjutan studinya berlangsung di Institut Pertanian Bogor, dan di 2004 meraih Doktor Ekonomi Pertanian.. Pada 2005, beliau memperoleh anugerah dua Doctor Honoris Causa, masing-masing dari almamaternya Webster University untuk ilmu hukum, dan dari Thammasat University di Thailand ilmu politik.
Susilo Bambang Yudhoyono meraih lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973, dan terus mengabdi sebagai perwira TNI sepanjang 27 tahun. Beliau meraih pangkat Jenderal TNI pada tahun 2000. Sepanjang masa itu, beliau mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan di Indonesia dan luar negeri, antara lain Seskoad dimana pernah pula menjadi dosen, serta Command and General Staff College di Amerika Serikat. Dalam tugas militernya, beliau menjadi komandan pasukan dan teritorial, perwira staf, pelatih dan dosen, baik di daerah operasi maupun markas besar. Penugasan itu diantaranya, Komandan Brigade Infanteri Lintas Udara 17 Kostrad, Panglima Kodam II Sriwijaya dan Kepala Staf Teritorial TNI.
Selain di dalam negeri, beliau juga bertugas pada misi-misi luar negeri, seperti ketika menjadi Commander of United Nations Military Observers dan Komandan Kontingen Indonesia di Bosnia Herzegovina pada 1995-1996.
Setelah mengabdi sebagai perwira TNI selama 27 tahun, beliau mengalami percepatan masa pensiun maju 5 tahun ketika menjabat Menteri di tahun 2000. Atas pengabdiannya, beliau menerima 24 tanda kehormatan dan bintang jasa, diantaranya Satya Lencana PBB UNPKF, Bintang Dharma dan Bintang Maha Putra Adipurna. Atas jasa-jasanya yang melebihi panggilan tugas, beliau menerima bintang jasa tertinggi di Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna.
Sebelum dipilih rakyat dalam pemilihan presiden langsung, Presiden Yudhoyono melaksanakan banyak tugas-tugas pemerintahan, termasuk sebagai Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan pada Kabinet Persatuan Nasional di jaman Presiden Abdurrahman Wahid. Beliau juga bertugas sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Gotong-Royong di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada saat bertugas sebagai Menteri Koordinator inilah beliau dikenal luas di dunia internasional karena memimpin upaya-upaya Indonesia memerangi terorisme.
Presiden Yudhoyono juga dikenal aktif dalam berbagai organisasi masyarakat sipil. Beliau pernah menjabat sebagai Co-Chairman of the Governing Board of the Partnership for the Governance Reform, suatu upaya bersama Indonesia dan organisasi-organisasi internasional untuk meningkatkan tata kepemerintahan di Indonesia. Beliau adalah juga Ketua Dewan Pembina di Brighten Institute, sebuah lembaga kajian tentang teori dan praktik kebijakan pembangunan nasional.
Presiden Yudhoyono adalah seorang penggemar baca dengan koleksi belasan ribu buku, dan telah menulis sejumlah buku dan artikel seperti: Transforming Indonesia: Selected International Speeches (2005), Peace deal with Aceh is just a beginning (2005), The Making of a Hero (2005), Revitalization of the Indonesian Economy: Business, Politics and Good Governance (2002), dan Coping with the Crisis - Securing the Reform (1999). Ada pula Taman Kehidupan, sebuah antologi yang ditulisnya pada 2004. Presiden Yudhoyono adalah penutur fasih bahasa Inggris.
Presiden Yudhoyono adalah seorang Muslim yang taat. Beliau menikah dengan Ibu Ani Herrawati dan mereka dikaruniai dengan dua anak lelaki. Pertama adalah Letnan Satu Agus Harimurti Yudhoyono, lulusan terbaik Akademi Militer tahun 2000 yang sekarang bertugas di satuan elit Batalyon Lintas Udara 305 Kostrad. Putra kedua, Edhie Baskoro Yudhoyono, mendapat gelar bidang Ekonomi dari Curtin University, Australia.
8 Februari 2006

Profil Presiden
Kabinet Indonesia Bersatu
Link Indonesia
English Content

Konsep Istilah Orde Lama

Konsep Istilah Orde Lama.

Orde Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru. Bung Karno sangat keberatan masa kepemimpinannya dinamai Orde Lama. BK lebih suka dengan nama Orde Revolusi. Tapi BK tak berkutik karena menjadi tahanan rumah (oleh pemerintahan militer Orde Baru) di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum TNI Satria Mandala Jl. Gatot Subroto Jakarta).

Karena pertanyaan anda spektrumnya sangat luas; saya akan membatasi pada masalah pemanfaatan kekayaan alam.

Konsep BK tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah dia tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu kita di masa depan. Biarlah anak cucu kita yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin BK, meski RI hidup miskin, tapi BK tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa BK juga amat minim.

Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan BK. Ibarat rumah tangga zaman Orba adalah masa kemaruk. Apa yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.

Masa Reformasi adalah masa cuci piring. Pesta sudah usai. Krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati demokrasi dan kebebasan. Media masa menjadi terbuka.

Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.

Orang-orang berteriak zaman reformasi sulit, tapi nyatanya hampir tiap rumah di Indonesia sekarang punya sepeda motor. Hal yang mustahil pada masa Orba. Jadi kesimpulannya Orde Reformasi adalah fase terbaik dari bangsa Indonesia. Kita sedang berproses menjadi negara yang besar dan kuat. Kepemimpinan SBY sudah berada di rel yang benar menuju ke sana.

Catatan: Bung Karno meski ada hubungan darah tapi kepemimpinannya tidak sama dengan Ibu Megawati. BK lebih mirip Hugo Chavez, Evo Morales, atau Ahmadinejjad. BK adalah pemimpin yang bisa menumbuhkan martabat dan harga diri bangsanya. Sisi negatifnya, BK banyak dimusuhi negara lain.

Dilematis Kebijakan Harga Beras di tingkat Petani

Dilematis Kebijakan Harga Beras di tingkat Petani

B. Suhardi, Dosen UNS
Sutrisno, Peneliti Kan. Litbang Pati
Stabilnya ketersediaan bahan pangan atau banyak diklaim sebagai ketahanan pangan saat ini, ternyata masih banyak menyisakan berbagai persoalan mendasar. Kelangsungan ketersediaan, kesejahteraan petani, hingga menyempitnya lahan garapan masih menjadi masalah yang juga memunculkan kembali kerawanan bahan pangan.
Tahun 1984 barangkali merupakan tahun kejayaan produksi pangan Indonesia karena pada tahun tersebut negeri ini bisa swasembada beras. Namun, harga yang ditanggung oleh swasembada tersebut ternyata tidak sedikit. Subsidi yang demikian besar ke bidang pertanian memang tidak bisa terus menerus dilakukan.
Akibat yang terjadi, perlahan tapi pasti, produksi pertanian menurun ketika subsidi pelan-pelan dikurangi. Ketersediaan pangan yang semakin berkurang mengharuskan Indonesia kembali tergantung pada impor. Meskipun saat ini pemenuhan kebutuhan nasional dari produksi dalam negeri masih mencukupi, namun labilnya suplai akibat musim yang tidak menentu tetap menjadi indikator ketidak pastian.
Ketidak pastian akan ketersediaan bahan pangan produk dalam negeri, sering kali menimbulkan kekhawatiran. Kelangsungan ketersediaan hasil pertanian menjadi sangat penting karena menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari seluruh rakyar negeri ini. Ketersediaan beras, gula, jagung, kedelai, buah, sayur-sayuran, hingga produk perkebunan tidak hanya menyangkut persoalan ekonomi, tetapi berdimensi lebih luas.
Hal itu karena sektor pertanian pada kenyataannya masih menjadi gantungan hidup sebagian besar rumah tangga di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan. Jumlah rumah tangga pertanian meliputi hampir 24,9 juta dari total 53,1 juta rumah tangga pedesaan yang disensus Badan Pusat Statistik tahun 2004. Ini berarti, terguncangnya pengelolaan nasional sektor pertanian bisa berimbas pula terhadap ketersediaan lapangan kerja dan rawan pangan yang luas.
Sekitar 60 persen responden dalam jajak pendapat Kompas menyatakan bahwa ketersediaan bahan pangan dalam negeri masih dalam kondisi memadai dan hanya sekitar 36 persen yang menyatakan sebaliknya. Ketersediaan bahan pangan yang terdiri dari produk dalam negeri dan impor itu dipandang makin mudah didapat meskipun dengan harga barang yang bervariasi.
Persoalan Impor Beras
Persoalan yang juga dikhawatirkan masyarakat adalah kebijakan pemerintah dalam soal pangan. Kebijakan pemerintah yang membuka regulasi impor dengan cukup longgar, antara lain dengan bea masuk rendah, dikhawatirkan akan memukul sekaligus petani dan masyarakat konsumen.
Sifat ketergantungan pada produk impor pertanian dikhawatirkan ujung-ujungnya akan menyebabkan ketergantungan harga pada produsen luar negeri, yang dampaknya bisa semakin menjauhkan kemampuan masyarakat bawah memperoleh bahan pangan. Tidak heran, terhadap longgarnya kebijakan impor pangan dari luar negeri, ternyata tiga perempat responden menyatakan tidak setuju (Suhardi dan Sutrisno, 2005).
Meskipun kebutuhan nasional tercukupi, tampaknya nasib petani tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Keseriusan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang meningkatkan taraf hidup petani secara berarti masih banyak dipertanyakan. Dukungan kebijakan yang antara lain berupa pemberdayaan petani dinilai sebagian besar responden jajak pendapat semakin berkurang.
Sebanyak 57 persen responden jajak pendapat menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kemampuan pengelolahan petani. Pemberian penyuluhan, bantuan kredit lunak petani, maupun bentuk kemudahan lain sudah lama berkurang. Petani lebih banyak berupaya dengan kemampuan sendiri dan secara individual. Kondisi serupa ditengarai tidak hanya menimpa petani sawah, tetapi juga petani perkebunan, holtikultura, dan peternakan.
Berkurangnya lahan garapan untuk budidaya tanaman pertanian menjadi ancaman serius Data sensus pertanian BPS pada akhir tahun 2004 meunjukkan, perubahan luas lahan sawah menjadi lahan nonsawah (permukiman, industri, dan sebagainya) mencapai 5 persen lebih. Dari 12,4 juta hektar lahan sawah, yang dikonversi menjadi lahan nonsawah sebanyak 676.000 hektar. Meskipun secara absolut jumlah rumah tangga pertanian meningkat, mereka akhirnya menerima kenyataan menjadi petani gurem yang menguasai lahan pertanian di bawah 0,5 hektar. Di wilayah Jawa Timur sebagai sentra rumah tangga petani, misalnya petani gurem mencapai 3,4 juta rumah tangga atau sekitar 25 persen dari jumlah nasional.
Sektor Pertanian dan Para Pelakunya
Secara sektoral, sektor pertanian terdiri dari sub sektor pertanian tanaman pangan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor perikanan, dan sub sektor kehutanan. Pada awal rezim orde baru, kelima sub sektor tersebut bersatu dalam satu departemen, yaitu Departemen Pertanian. Kemudian sub sektor perkebunan dipisah menjadi departemen tersendiri. Begitu pula dengan sub sektor perhutanan yang menjadi Departemen Kehutanan dan subsektor perikanan menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan.
Sementara itu, pengolahan hasil pertanian dan manufaktur sarana dan alat perlengkapan produksi pertanian sejak semula termasuk dalam sektor industri dan tergabung dalam Departemen Perindustrian. Namun, secara sistem, sub sektor industri pertanian atau agro industri termasuk dalam cakupan agribisnis.
Dalam pengertian ini, agribisnis lebih merupakan suatu sistem, di mana agro industri, baik industri hilir (pengolahan hasil pertanian) maupun industri hulu (manufaktur sarana dan alat perlengkapan pertanian) merupakan salah satu sub sistem dari agribisnis, satu sistem pertanian dalam arti luas (Adiratma, 1995)
Dalam kegiatan ekonomi, lingkup agribisnis termasuk dalam ketiga bidang ekonomi, yaitu (1) keseluruhan pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, dan tanaman pangan tercakup dalam industri primer; (2) agro industri, baik industri hulu maupun hilir, termasuk dalam kelompok industri sekunder, (3) bidang jasa, pemasaran, perbankan, komunikasi, dan jasa penunjang lainnya, termasuk dalam industri tersier. Dengan demikian, agribisnis mengandung dua sifat, yaitu agribisnis sebagai suatu kegiatan bisnis dan sebagai suatu cara pandang terhadap pertanian dengan pendekatan komprehensif, yang memandang pertanian sebagai suatu sistem yang terkait dengan sektor lain dalam suatu arus komoditas.
Dalam menunjang pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem, terdapat faktor-faktor dari luar yang berpengaruh terhadap pengembangan agribisnis yang terdiri dari faktor agroklimatologi, sosial, ekonomi, teknologi, dan kebijakan pemerintah.
Persoalan Perberasan di Era Otonomi Daerah
Di tengah polemik mengenai kebijakan pangan nasional, khususnya yang berkenaan dengan persoalan beras, ada satu pertanyaan: dimana dan apa peran pemerintah daerah dalam rangka menjalankan otonominya?. Pertanyaan ini wajar dimunculkan karena secara teknis beras merupakan produk sektor pertanian yang merupakan salah satu bidang kewenangan pemerintah daerah. Dari sudut pandang ini maka pemerintah daerah secara proaktif harus berperan dalam menangani persoalan perberasan yang terjadi di daerahnya. Masalahnya, dalam aspek apa saja pemerintah daerah seharusnya dapat berperan? Pemilahan persoalan diperlukan karena pada kenyataannya persoalan beras tidak saja terbatas pada persoalan teknis produksi belaka. Di dalamnya menyangkut aspek yang lebih luas, karena komoditi beras bukan sekedar sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga merupakan komoditi sosial politis yang bisa menimbulkan aksi emosional. Akibatnya, meskipun kewenangan sektor pertanian telah didesentralisasikan ke daerah, peran pemerintah daerah dalam hal perberasan terasa masih kecil. Pemerintah pusat masih terus memainkan peran yang dominan dan menentukan.
Di era otonomi daerah sekarang, manajemen sistem kebijakan perberasan dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua. Pertama, manajemen sistem kebijakan perberasan yang berkaitan dengan penanganan pasca panen dan kebijakan makro lainnya yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Penetapan mengenai harga dasar gabah, tarif impor, penyediaan kredit, peran Bulog, Raskin, dan subsidi pupuk, merupakan contoh unsur-unsur kebijakan perberasan yang sangat penting, yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Dalam aspek-aspek kebijakan ini dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah nyaris tidak diberikan peran apa pun. Tidak saja dalam perumusan kebijakan, bahkan dalam polemik mengenai isu kebijakan perberasan nasional (pasar bebas versus proteksionisme), suara daerah nyaris tak terdengar. Tampaknya beras masih dan akan tetap menjadi komoditi yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Kedua, sistem kebijakan yang menyangkut aspek penyediaan sarana dan prasarana usahatani. Sesuai dengan kewenangan otonom yang dipunyainya, pelaksanaan aspek kebijakan ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Kondisi riil yang terjadi di lapangan umumnya menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum berhasil menjalankan perannya yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana usahatani. Jaringan irigasi, misalnya kondisinya bukan bertambah baik tetapi justru sebaliknya. Demikian pula kondisi jalan-jalan kolektor usahatani di pedesaan. Untuk menangani prasarana yang sangat penting bagi produksi beras tersebut sepertinya tidak ada lagi instansi pemerintah yang bertanggung jawab penuh mengelolanya. Untuk menggambarkan kondisi pembangunan yang terjadi sekarang, kelompok masyarakat di sebuah desa di Lombok Barat misalnya, menyatakan bahwa di era otonomi daerah sekarang, pembangunan justru menjadi lambat.
Aspek lain manajemen usahatani yang juga tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah daerah adalah menyangkut soal penyuluhan pertanian. Alokasi anggaran biaya untuk penyuluhan dan pendampingan tidak tersedia atau jumlahnya sangat sedikit, sehingga mempengaruhi kinerja pembangunan pertanian di lapangan. Hal ini bisa terjadi karena sekarang para petani tidak lagi mempunyai akses atau sulit mendapatkan pendamping untuk berkonsultasi, termasuk memperoleh informasi pasar dan teknologi.
Persoalan lain yang mengemuka seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah kembali maraknya praktek pungutan perdagangan antar daerah, termasuk komoditi pangan (beras dan jagung) yang menimbulkan persoalan inefisiensi. Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, ditambah dengan makin memburuknya kondisi prasarana usahatani, maka dalam jangka panjang hal-hal demikian, dari sisi produksi dan distribusi, dapat menimbulkan dampak negatif terhadap aspek ketahanan pangan nasional.
Kebijakan Tarif Impor Beras Indonesia
Di Indonesia, harga beras dan kebutuhan untuk melindungi industri beras dalam negeri telah menjadi isu yang kontroversial selama beberapa tahun belakangan ini. Di tengah berlangsungnya kontroversi ini, muncul dua pendapat yang berlawanan mengenai perlunya pengenaan tarif pada beras impor. Pendapat pertama mendukung kebijakan tarif dan harga beras yang tinggi karena harga yang lebih tinggi diasosiasikan dengan pendapatan yang lebih tinggi bagi petani beras. Pendapat kedua menganggap bahwa melindungi industri beras dalam negeri memiliki dampak negatif terhadap kelompok miskin yang merupakan net consumer atau konsumen netto dari beras.
Argumen-argumen yang mendukung kenaikan tarif beras berfokus pada nilai politis dari swasembada beras, isu-isu perdagangan global, serta peranan beras sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat miskin pedesaan. Argumen-argumen tersebut antara lain adalah: (1) Tarif akan membantu Indonesia dalam mencapai swasembada beras, walaupun telah berhasil mempertahankan swasembada beras dari tahun 1984 hingga 1996, di saat puncak krisis ekonomi pada 1998, impor beras Indonesia mencapai 21,7% dari total impor beras dunia. Karena keterbatasan dan ketidakstabilan pasar beras internasional (dari beras yang diproduksi dunia, hanya 4% yang diperdagangkan secara internasional), harga beras bisa berfluktuasi dengan cepat dan pembeli besar bisa menyebabkan harga beras naik secara tajam. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu kembali memfokuskan kebijakan pertaniannya pada swasembada beras. Tarif dianggap akan membantu pencapaian sasaran ini, karena harga yang tinggi akan menjadi insentif bagi peningkatan produktivitas beras domestik dalam jangka panjang. (2) Pasar domestik harus dijaga dari kompetisi yang tidak “fair” dan “dumping”. Pemerintah di seluruh dunia mensubsidi dan melindungi industri beras domestik mereka. Oleh karena itu, tarif beras di Indonesia perlu dinaikkan untuk melindungi produsen beras dalam negeri dari beras murah yang “dibuang” di pasar dunia. (3) Penghasilan petani akan meningkat, para pendukung kenaikan tarif menekankan pentingnya penghasilan dari produksi beras bagi ekonomi pedesaan. Kenaikan harga beras dalam negeri akan meningkatkan penghasilan petani pedesaan yang dianggap termasuk kelompok miskin. (4) Industri beras harus digunakan sebagai mesin pertumbuhan bagi wilayah pedesaan. Dari pendapat diatas, diyakini bahwa peningkatan penghasilan di sektor penghasil beras akan menyediakan insentif tambahan bagi para petani, menciptakan lapangan pekerjaan tambahan dan meningkatkan upah. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan produksi beras di seluruh Indoensia. Pendukung argumen ini percaya bahwa peningkatan produksi beras akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja tidak terdidik, karena sektor beras dianggap mampu menyerap tenaga kerja tidak terdidik dalam jumlah yang besar. Hal ini akan memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan upah buruh tani.
Sementara itu, ada sejumlah pendapat berbeda yang diajukan untuk menentang kenaikan tarif beras di Indonesia. Argumen-argumen yang didasarkan pada alasan ekonomi tersebut mencakup: (1) Kenaikan harga beras akan berdampak negatif terhadap kelompok miskin, harga beras yang tinggi telah menjadi beban yang berat bagi konsumen dan merupakan penyebab utama dari peningkatan kemiskinan pada tahun-tahun belakangan ini. Pendukung pendapat ini meyakini bahwa di antara kelompok miskin ada lebih banyak konsumen beras netto daripada produsen netto, sehingga kelompok miskin akan semakin menderita karena kenaikan harga beras. Selain itu, perlu diingat bahwa konsumsi beras tidak elastis terhadap harga beras. Sekalipun terjadi kenaikan harga beras, konsumsi beras per kapita antara 1990 dan 2000 relatif tetap stabil. Kelompok miskin akan berusaha mempertahankan konsumsi beras mereka, tetapi mengurangi konsumsi makanan lainnya seperti lauk pauk, dan sayuran. (2) Dalam jangka panjang industri beras cenderung turun dan kebijakan tarif akan mengganggu alokasi sumber daya. Harga yang kompetitif akan meningkatkan efisiensi baik dalam produksi maupun dalam alokasi sumber daya. Kebijakan tarif akan mengganggu alokasi sumber daya dengan menjauhkan sumber daya dari sektor-sektor yang menjadi keunggulan komparatif dari suatu negara. Menaikkan tarif akan secara artificial meningkatkan hasil dari beras dan memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi beras, sementara membiarkan harga beras ditentukan oleh pasar akan menciptakan insentif bagi petani untuk melakukan diversifikasi dengan menanam tanaman pangan yang lebih menguntungkan, seperti kedelai dan berbagai tanaman perkebunan lainnya. (3) Harga beras bukanlah faktor yang signifikan terhadap kemiskinan petani. Menurut beberapa pengamat, terbatasnya kepemilikan tanah pedesaan diyakini merupakan penyebab utama kemiskinan di sektor pertanian. Rata-rata luas tanah yang dimiliki petani sangat sempit sehingga bahkan teknologi pertanian yang terbaru pun tetap tidak bisa meningkatkan produksi agar petani bisa keluar dari kemiskinan. Sebagai ilustrasi, rata-rata luas pemilikan lahan pertanian di Jawa adalah ekitar 0,58 hektar pada tahun 1983, dan menurun menjadi sekitar 0,47 hektar pada tahun 1993. Oleh karena itu, suatu kebijakan harga beras dengan mengenakan tarif dianggap tidak relevan dalam konteks memerangi kemiskinan di sektor beras Indonesia. (4) Harga beras domestik sudah lebih tinggi dibandingkan harga beras di pasar internasional. Pada Januari 2002, beras kelas menengah Thailand misalnya, diperdagangkan di pasar dunia dengan harga antara Rp 1.737 dan Rp 1.804 per kg (f.o.b). Sesudah memperhitungkan biaya pengiriman, margin harga dan tarif impor sebesar Rp 430 per kg, beras Thailand ini dijual di Indoensia dengan harga antara Rp 2.612 dan Rp 2.686 per kg. Data nasional menunjukkan bahwa beras domestik dengan kualitas yang setara dijual rata-rata Rp 2.978 per kg, sementara di Jakarta beras ini dijual Rp 3.232 per kg. (5) Tarif yang lebih mahal akan mendorong penyelundupan dan korupsi, perbedaan antara harga beras domestik dan internasional serta pembatasan impor beras telah menjadi penyebab utama dari penyelundupan beras. Untuk mempertahankan tingkat keuntungan, sebagian pedagang cenderung menyelundupkan beras ke dalam negeri atau menyuap petugas ketimbang mentaati ketentuan tarif. Akibatnya, sekalipun kebijakan tarif masih berlaku, beras impor dengan harga murah akan tetap dapat ditemui di pasar dalam negeri.
Komoditi Penting
Beras merupakan komoditi yang sangat penting di Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Meskipun upaya diversifikasi pangan telah lama digalakkan tetapi hingga saat ini belum ada bahan pangan lain yang dapat menggantikan beras, sehingga kebutuhan beras di Indoensia akan selalu tinggi. Akibatnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan beras di Indonesia akan terus meningkat.
Karena merupakan kebutuhan pokok utama, beras merupakan komoditi yang relatif tidak terlalu sensitive terhadap perubahan harga. Meskipun terjadi perubahan yang cukup besar pada harga beras permintaan terhadap beras tidak akan berubah banyak karena setiap orang akan berusaha mempertahankan kuantitas beras yang dikonsumsi. Konsumsi beras juga relatif tidak sensitive terhadap pendapatan. Peningkatan pendapatan seseorang tidak akan meningkatkan kuantitas beras yang dikonsumsi. Dengan demikian, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung semakin kecil, dan sebaliknya.
Kecenderungan terakhir di Indonesia menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah bekerja dengan baik dalam menstabilkan harga beras di pasar domestik. Fenomena harga beras menunjukkan bahwa proses deregulasi tidaklah mudah dijalankan, baik secara ekonomi atau politik. Pelbagai keputusan politis (atau tidak didasarkan pada penelitian di lapangan) yang diambil pemerintah telah menyebabkan kebijakan dalam perberasan ini kehilangan rasionalitas. Liberalisasi sektor perdagangan yang dilakukan di Vietnam telah meningkatkan produksi negera tersebut sehingga menambah penawaran beras di pasar dunia. Pada saat yang sama beberapa negara konsumen (sekaligus produsen) utama seperti Thailand telah mencapai kejenuhan dalam konsumsi beras yang mengakibatkan konsumsi per kapita di sana pun mengalami penurunan, dan pada akhirnya mengurangi permintaan dunia.
Perpolitikan kebijakan beras makin terasa pula dari pernyataan para politisi dan birokrat yang terlibat dalam perberasan. Untuk menghindari impor beras, Bulog mengusulkan hambatan bukan tarif dan menolak tawaran beras dari pemerintah AS melalui PL480 (program bantuan pangan dari pemerintah AS). Tetapi dalam kenyataannya Bulog tetap melakukan impor dengan melakukan kontrak pengadaan beras dengan Vietnam, Thailand dan India. Jika ancaman kelangkaan beras benar adanya, tentunya bukan hambatan bukan tarif yang harus diperkuat, tetapi justru tarif yang berlaku sekarang yang harus diturunkan sebesar 30%. Jika harga beras di pasar dunia meningkat hingga US$230 per ton dan tarif dipertahankan sebesar 30% barulah harga beras domestik menyamai harga pasar dunia. Artinya, tanpa ribut-ribut dengan sistem yang sekarang dan tanpa ada intervensi dari Bulog (serta tidak membebankan APBN) pasokan beras dalam negeri akan terjamin melalui importir umum. Yang menarik pula keterlambatan panen yang terjadi dewasa ini tidak direspon dengan lonjakan harga seperti yang terjadi pada saat rezim Soeharto. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah bekerja dengan baik dalam menstabilkan harga beras di pasar domestik.
Dari sisi perspektif ekonomipun, terdapat dua pendapat yang berbeda dalam memandang kebijakan harga beras. Kelompok pertama, kelompok yang ingin mempertahankan kebijakan harga beras dengan premium tertentu di atas harga internasional. Kelompok ini beranggapan bahwa harga beras dunia dibentuk oleh pelbagai distorsi, baik disisi permintaan maupun penawaran. Di sisi permintaan, tingginya tarif menyebabkan beras kalah bersaing dengan jenis sereal yang lain. Di sisi penawaran, subsisidi yang diberikan negera maju telah menyebabkan harga beras di pasar dunia jatuh. Pasar beras dunia memang telah berubah. Pada tahun 1980-an hanya 16 – 18 juta ton saja yang diperdagangkan tetapi sekarang lebih dari 25 juta ton beras diperdagangkan di pasar internasional. Walaupun demikian volume perdagangan beras masih relatif sedikit dan tersegmentasi. Misalnya beras long grain dari AS atau Basmati dari Pakistan umumnya ditujukan untuk pasar Timur Tengah yang harganya lebih mahal. Sementara beras untuk pasar Indonesia umumnya berasal dari Indochina, termasuk Thailand. Tidak mengherankan jika kemudian keputusan Indonesia untuk mengimpor beras akan langsung mempengaruhi harga dunia. Pada saat Bulog memegang monopoli impor, setiap 1 ton impor Indoensia akan menaikkan harga beras di pasar dunia hingga US$ 50 per ton. Tetapi sejak monopoli impor beras dihapuskan bersamaan dengan ekspansi pasar beras internasional (dari 16 juta ton per tahun menjadi 25 juta ton per tahun), pengaruh keputusan impor dari Indonesia menurun lebih dari separuhnya, yaitu harga dunia naik sebesar US$ 10 – 20 per ton untuk setiap ton impor beras Indonesia.
Lebih jauh lagi kelompok pertama ini menganggap beras adalah komoditi publik yang mengandung eksternal yang positif, terutama dari sisi produksi. Dampak multiplier ke depan (forward linkages) dari beras baik dalam penciptaan nilai tambah maupun tenaga kerja, walaupun kecenderungannya menurun, sudah sesuai dengan proses perubahan struktural. Padi beserta industri penggilingan padi mempunyai koefisien multiplier tertinggi di antara semua klasifikasi jenis kegiatan ekonomi berdasarkan klasifikasi Tabel Input Output. Karena peranannya yang dominan, kelompok ini beranggapan bahwa beras adalah ‘wage good’, artinya sokongan harga dasar gabah akan ikut meningkatkan kegiatan ekonomi pedesaan, termasuk upah buruh tani.
Argumen ini dibantah oleh kelompok kedua. Benar bahwa beras berperan dalam proses penurunan kemiskinan di daerah pedesaan, tetapi kebijakan ini hanya benar pada tahun 1970an hingga awal 1980an. Dewasa ini argumen ini tampaknya kurang valid. Menurut kelompok ini penurunan harga beras mengikuti harga internasional akan menguntungkan orang miskin. Argumen kelompok ini didukung oleh fakta bahwa: (1) kenaikan harga beras sebesar 10% akan menyebabkan lebih 2 juta orang miskin baru tercipta dengan kira-kira 1,1 juta diantaranya di daerah pedesaan, (2) kenaikan harga beras juga memberikan dampak distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan karena menyebabkan transfer pendapatan dari konsumen miskin di kota (baik di Jawa maupun di luar Jawa) kepada (petani) pemilik tanah di atas satu ha di pedesaan Jawa. Lebih jauh lagi, anekdot menunjukkan bahwa sebagian kepemilikan tanah pertanian sudah berpindah tangan ke penduduk kota sehingga kenaikan harga ini memberikan transfer dari konsumen miskin kepada pemilik tanah di kota, (3) berkaitan dengan masalah struktural yang dialami oleh buruh tani dan petani gurem yang mendominasi kelompok miskin di desa, harga beras yang terdistorsi (kenaikan harga yang berlebihan) akan menyebabkan kesempatan untuk menciptakan kegiatan ekonomi lain akan terganggu, (4) dalam masyarakat demokratis, keputusan untuk memberikan subsidi akan ditentukan oleh jumlah suara yang dimiliki oleh kelompok tertentu. Persentase keluarga yang menikmati keuntungan dari kenaikan (distorsi) harga beras makin kecil, sementara konsumen beras pun makin banyak.
Kedua kelompok di atas mempunyai argumen yang kelihatan logis, tetapi tetap saja belum lengkap. Misalnya, kelompok pertama beranggapan bahwa untuk melindungi orang miskin pemerintah dapat memberlakukan kebijakan targeting sehingga kepentingan orang miskin dan petani dapat dipertahankan. Meskipun demikian masih terdapat dua hal vital dalam pengambilan keputusan yang belum diperhitungkan oleh kedua kelompok di atas.
Pertama, dinamika dalam pasar tenaga kerja. Sejauh mana korelasi harga beras dan upah di daerah pedesaan?. Jika harga beras dan upah di pedesaan berkorelasi positif dan korelasi tersebut cukup kuat, argumen kelompok pertama dapat dibenarkan. Tetapi hal ini akan menimbulkan masalah baru, yaitu hilangnya kesempatan penciptaan peluang ekonomi di sektor bukan pangan karena kenaikan upah akibat distorsi harga beras. Usaha penciptaan lapangan kerja di luar kegiatan pangan (non farm activities) telah diyakini sebagai usaha untuk mempercepat proses penurunan tingkat kemiskinan. Jika diamati alokasi waktu petani (buruh tani) rata-rata hanya 10 hari per bulan, dan sisanya dapat digolongkan sebagai waktu luang. Tantangannya adalah bagaimana mengekonomisasikan waktu luang tersebut sehingga menghasilkan tambahan pendapatan bagi mereka. Sebagian dari mereka kemudian bekerja sebagai buruh bangunan, tukang becak dan sebagainya di daerah perkotaan, sedangkan sebagian lainnya bekerja di kegiatan ekonomi lainnya di desa.
Kedua, dalam kaitannya dengan Operasi Pasar Khusus (OPK) dan harga beras di pasar eceran, kelompok pro proteksi bukan tidak menyadari dampak proteksi terhadap orang miskin. Mereka menyarankan agar kelompok miskin diberikan subsidi harga khusus seperti yang dilakukan pemerintah dengan OPKnya. Pembelian beras untuk OPK akan mendorong permintaan beras dan sekaligus pendapatan bagi Bulog. Tetapi muncul argumen yang menyatakan bahwa OPKlah yang telah menyebabkan harga domestik tertekan sehingga argumen dari kelompok anti liberalisasi beras menjadi sia-sia. Argumen yang terakhir ini sebetulnya masih bersifat anecdotal dan perlu dibuktikan lebih dahulu.
Catatan lain yang perlu diangkat adalah: pertama, kenyataan bahwa sensitivitas harga terhadap produksi makin lemah. Ini ditandai dengan makin menurunnya elastisitas harga terhadap jumlah produksi gabah; kedua, perbandingan antar negara menunjukkan bahwa produktivitas per hektar gabah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, jauh lebih tinggi dari produktivitas negara-negara pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam. Ketidakmampuan Indonesia bersaing dengan negara-negara tersebut disebabkan oleh inefisiensi dalam proses produksi gabah menjadi beras. Banyak faktor yang menyebabkan inefisiensi tersebut, antara lain masalah infrastruktur, kondisi pabrik penggilingan padi yang sudah tertinggal teknologinya, kondisi keuangan petani, lahan marginal yang terpaksa menjual gabah sebelum kering untuk mengatasi masalah cashflows dan sebagainya, ketiga, keterbatasan lahan terutama akibat kompetisi penggunaan lahan antara komoditi pertanian satu dengan komoditi pertanian yang lain (di Jawa antara tebu dan padi, di luar Jawa antara padi dan tanaman keras), dan antara kebutuhan lahan untuk pertanian dengan kebutuhan untuk non pertanian, termasuk untuk perumahan dan infrastruktur.
Jadi dalam kasus beras, kita sebaiknya mengkonsentrasikan usaha dan sumber daya kita untuk mengurangi inefisiensi dalam ‘chain production’ gabah dan beras. Jika kita mampu menurunkan tingkat kehilangan 2 – 3 % saja, maka kebutuhan beras impor dapat dipenuhi di dalam negeri dan dilemma beras bisa dikurangi. Kondisi ini masih memenuhi syarat perlu tetapi belum memenuhi syarat cukup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa atau untuk mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu kondisi ini perlu dilengkapi pula dengan upaya untuk mendorong kegiatan non farm karena masa depan petani kita memang bukan di beras.
Harga Dasar Gabah
Barangkali tidak semua menyadari bahwa sejak dua tahun terakhir konstruksi kebijakan harga dasar gabah telah diubah secara halus namun mendasar. Pertama, istilah harga dasar gabah (HDG) diubah menjadi harga dasar pembelian gabah pemerintah (HDPG). Sungguh halus dan cerdik karena perubahan ini sukar disadari oleh orang awam. Namun sesungguhnya perubahan HDG menjadi HDPG sangatlah mendasar. Dengan kebijakan HDPG, pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban dan tanggung jawab formal atau juridis untuk menjamin harga dasar gabah pada tingkat harga tertentu, bukan menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani sebagaimana lazimnya konsep kebijakan HDG.
Kedua, HDPG berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat petani seperti lazimnya pada kebijakan HDG. Dengan kebijakan HDPG pemerintah tidak wajib membeli gabah dari petani. Bulog yang menjadi lembaga pemerintah pelaksana pembeli gabah hanya pasif menunggu di gudangnya, tidak perlu harus repot-repot membeli gabah langsung dari petani. Dengan demikian HDPG yang ditetapkan Rp.1.765 per kg GKG bukanlah harga dasar gabah yang diterima petani, melainkan harga dasar gabah yang diterima pedagang rekanan Bulog.
Secara formal-juridis, kebijakan HDG di tingkat petani sesungguhnya sudah tiada. Argumen inilah yang digunakan oleh sebagian pihak pada awal tahun 2002 lalu dalam mensosialisasikan bahwa Bulog tidak lagi bertanggung jawab untuk mempertahankan HDG. Bulog hanya membeli gabah untuk memenuhi kebutuhannya pada harga sesuai HDPG. Bahwa harga gabah anjlok di bawah HDPG adalah masalah lain yang diluar tanggung jawab formal Bulog. Secara formal juridis argumen ini benar, namun secara moral dan misi keberadaan lembaga argumen tersebut tidak benar.
Pada saat ini harga GKP (Gabah Kering Panen): Rp 1.330/kg ditingkat penggilingan oleh mitra kerja pengadaan kepada petani, sedangkan harga GKG (Gabah Kering Giling): Rp 1.765,-/kg pembelian gabah di depan pintu gudang penyimpanan Perum Bulog. Artinya petani belum banyak menikmati kenaikan harga gabah oleh pemerintah. Dilema ini selalu muncul dan tak pernah dapat teratasi, sehingga ada kesan persoaalan perberasan saat ini tidak terlepas dari adanya disharmoni dan tidak terkoordinasinya dengan baik lembaga yang selalu bersentuhan dalam masalah beras terutama antara departemen Perdagangan, Bulog dan Depertemen Pertanian (Suara Merdeka, 8 Pebruari 2006). Kebijakan beras saaat ini terkesan terlalu banyak melibatkan nahkoda, dan ujung-ujungnya hanya menciptakan instabilitas harga beras.
Ada gagasan yang patut dipertimbangkan bahwa sebaiknya pemerintah meroposisi lembaga yang satu ini yaitu Bulog ke dalam sistem atau struktur Depertemen Pertanian menjadi satu Direktorat Jendral tersendiri. Hal ini akan dapat mempermudah dalam satu komando menteri, sehingga memudahkan pemrintah untuk mengeluarkan kebijaksanaan yang lebih terakomodatif dan terkoordinatif. Reposisi ini dalam prakteknya akan menyebabkan kegiatan produksi, distribusi sampai pengamanan stok beras berada dalam satu departemen, sehingga kebijakan import beras misalnya, cukup ditentukan oleh menteri yang bersangkutan. Dengan reposisi Bulog ini, diharapkan tidak terjadi lagi polemik harga dasar beras maupun impor beras yang selalu muncul dan ujung-ujungnya hanya menghabiskan energi bangsa.
Daftar Pustaka
Adiratma, E.Roekasah, Stop Tanam Padi, Penebar Swadaya, Jakarta, 2004
Bahri, Sjaiful, Masa Depan Petani Indonesia Bukan di Beras, dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta, 2001
Basuki, Cuk Eko Haris, Riskan, Ketahanan Pangan Hanya Andalkan Beras, Suara Pembaruan, Jakarta, 17 Oktober 2003
Ikhsan, Mohamad, Kemiskinan dan Harga Beras, dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta, 2001
Ikhsan, Mohamad, Dilema Kebijakan Harga Beras, SMERU No.05: Jan-Mar 2003
Mawardi, Sulton, Persoalan Perberasan di Era Otonomi Daerah, SMERU No.05: Jan-Mar 2003
Priyambada, Agus D, Kebijakan Tarif Impor Beras Indonesia: Berbagai Argumen Pendukung dan Penentang Kenaikan Tarif, SMERU No.05: Jan-Mar 2003.
Suhardi, B dan Sutrisno. 2005. Penelitian Tingkat Harga Gabah dan Beras serta Factor-faktor yang Mempengaruhinya di Kabupaten Pati. Kan. Litbang. Pati, Jateng.
Wicaksono, W. 2006. Balada Beras dan Reposisi Bulog. Suara Merdeka. Semarang. Tanggal 8 Pebruari 2006.